Eksistensi Waliyyul Amri
Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sesungguhnya Allah Subhanahu
wata’ala telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan itu tidak dapat
dilaksanakan secara optimal kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian
pula seluruh syariat yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala,
seperti jihad, menegakkan keadilan, menunaikan ibadah haji, shalat ied,
menolong yang tertindas, menerapkan hukuman, dan lain-lain. Semua itu tidak
dapat berjalan dengan baik kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Karena
itu, telah diriwayatkan,
Pemimpin (penguasa) adalah
naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi.” (HR. Ibnu Abi
Ashim, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Demikian pula dikatakan, “Enam
puluh tahun bersama pemimpin yang jahat, jauh lebih baik daripada satu malam
tanpa ada pemimpin.” Pentingnya keberadaan pemimpin, dalam hal ini waliyyul
amri, adalah halyang tidak dapat ditolak. Keberadaannya dapat mencegah
mudarat dan senantiasa menjaga lima tujuan utama dari syariat ini, yaitu
menjaga agama, jiwa, kehormatan, harta benda, dan akal.
Jika tidak ada waliyyul amri,
dapat dipastikan kekacauan dan kerusakan akan terus terjadi. Al-Imam Ahmad
rahimahumallah mengatakan, “Akan ada kekacauan apabila tidak ada imam
(penguasa) yang mengatur urusan manusia.” (ad-Dur al- Mantsur fi Bayani
‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jamaah fi Wulatil Umur)
Dalil yang menunjukkan eksistensi waliyyul
amri di tengah-tengah manusia, antara lain firman Allah Subhanahu
wata’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang
kekuasaan) di antara kalian.” (an- Nisa’: 59)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu
wata’ala mewajibkan seluruh kaum muslimin taat kepada waliyyul amri dari
kalangan mereka. Perintah untuk memberikan ketaatan ini menjadi dalil harus
adanya waliyyul amri di tengah-tengah mereka. Sebab, Allah Subhanahu
wata’ala tidaklah memerintahkan ketaatan kepada pihak yang tidak ada
wujudnya. Tegasnya, keberadaan pemimpin (penguasa) adalah wajib. (al-Imamah
al-‘Uzhma)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah
berkata, “Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah
umatnya agar mengangkat seorang waliyyul amri yang akan mengurusi segala
urusan mereka. Beliau juga memerintah waliyyul amri agar menyampaikan
amanat kepada yang berhak dan menerapkan hukum di tengah-tengah manusia dengan
adil.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan agar taat kepada waliyyul amri dalam lingkup
taat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dalam Sunan Abu Dawud (diriwayatkan)
dari sahabat Abu Said radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila tiga orang keluar dalam
sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai
pimpinan.”
Dalam Musnad Ahmad ada
riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi tiga orang
yang berada di sebuah padang pasir kecuali mereka mengangkat salah satunya
sebagai pemimpin.” (asy-Syaikh al- Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam
Silsilah adh-Dha’ifah, pen.) (Majmu’ al-Fatawa)
Pernyataan Ulama Tentang
Eksistensi Waliyyul Amri
Berikut ini pernyataan ahlul ilmi
tentang eksistensi waliyyul amri.
• Abu Hamid al-Ghazali rahimahumallah
“Sesungguhnya keberadaan dunia dan keselamatan atas jiwa dan harta benda tidak
akan terorganisir dengan baik kecuali dengan adanya pemimpin (penguasa)…. Maka
dari itu, jelaslah bahwa adanya pemimpin adalah hal yang sangat penting untuk
mengatur urusan agama dan dunia.
Keteraturan urusan dunia sangat
penting untuk mewujudkan keteraturan urusan agama, sedangkan teraturnya urusan
agama sangat penting untuk mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat.
Jadi, keberadaan pemimpin sebagai waliyyul amri termasuk tuntutan
syariat yang tidak dapat ditawar lagi.” (al-Imamah al-‘Uzhma)
• Al-Imam al-Qurthubi rahimahumallah
“Ayat ini,
‘Sesungguhnya Aku akan
menjadikan di muka bumi seorang khalifah,’ menjadi dasar harus adanya
seorang pemimpin yang didengar dan ditaati agar tercipta persatuan dan
kesatuan, sehingga hukum yang ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Tidak
ada perbedaan pandang tentang wajibnya hal itu (keberadaan pemimpin) di
kalangan umat, tidak pula di kalangan ulama.” (Tafsir al-Qurthubi)
•
Al-Imam al-Mawardi rahimahumallah
“Menetapkan imam (pemimpin) bagi
yang mendudukinya adalah wajib berdasarkan ijma’ (kesepakatan).” (Ahkam
as-Sulthaniyyah)
• Al-Imam asy-Syaukani rahimahumallah
“Dalam hadits (dari Abu Sa’id radhiyallahu
‘anhu, dalam Sunan Abu Dawud, ‘Apabila tiga orang keluar dalam
sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai
pemimpin’) ada dalil bagi yang menyatakan wajib atas kaum muslimin
mengangkat imam, pemimpin, dan pemerintah.” (Nailul Authar)
• Al-Imam an-Nawawi rahimahumallah
“(Ulama) telah sepakat, wajibnya
kaum muslimin mengangkat khalifah (pemimpin).” (Syarah Shahih Muslim)
• Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahumallah
“Sudah diketahui dengan pasti
secara akal dan nalar bahwa tugas manusia ialah menjalankan apa yang diwajibkan
Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan hukum-hukum, harta benda,
kriminal, darah, pernikahan, perceraian, dan seluruh urusan yang berkaitan;
kemudian mencegah kezaliman dan menyelamatkan orang-orang yang dizalimi. Dengan
tempat yang berjauhan dan cara pandang yang berbeda-beda, semua itu tidak
mungkin dapat diwujudkan, dan ini pasti. Inilah keadaan sebuah negara yang
tidak memiliki kepala negara, tidak akan tegak di dalamnya hak dan hukum,
bahkan urusan keagamaan pun umumnya tidak terlihat.” (al-Fashl fi al-Milal
wan Nihal)
Waliyyul Amri Tidak
Maksum
Waliyyul amri bukan pihak
yang maksum (terbebas dari kesalahan) dan tidak mungkin tidak melakukan
kesalahan. Mereka pada prinsipnya adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa
salah. Mereka senantiasa membutuhkan nasihat dan arahan dari orang-orang yang
bertakwa.
Menasihati waliyyul amri dengan
cara yang syar’i merupakan salah satu pilar agama dan petunjuk para salaf.
Dengan mengedepankan keikhlasan, pemikiran yang matang, lemah lembut, dan metode
yang tepat, tentu akan membuahkan hasil dalam meluruskan kesalahan waliyyul
amri.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahumallah
berkata, “Menjadi hak setiap muslim atau orang yang memiliki ilmu dan pemahaman
yang benar, mengarahkan waliyyul amri kepada kebaikan dan mencegah
mereka dari kejelekan, serta menasihatinya. Sebab, orang yang berilmu
berhubungan dengan pemerintah hanya sebatas mengarahkannya kepada kebaikan dan
mencegahnya dari kejelekan. Apabila berhasil, itulah karunia yang tidak ada
karunia lain setelahnya (tak ternilai).” (Fiqh Siyasah asy-Syar’iyyah)
Adapun memaki dan melontarkan
kata-kata yang kotor setiap kali melihat kesalahan waliyyul amri, ini
tidak dibenarkan. Ibnul Jauzi rahimahumallah mengatakan, “Bentuk
amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa yang diperbolehkan adalah memberi
tahu dan menyampaikan wejangan serta nasihat. Adapun dengan perkataan kasar,
seperti ‘hai pemerintah zalim’, atau ‘pemerintah yang tidak takut kepada Allah Subhanahu
wata’ala’, jika sampai menyulut fitnah dan menyebabkan tersebarnya
kejelekan, hal ini tidak diperbolehkan.”


Tidak ada komentar:
Posting Komentar