Kamis, 29 Mei 2014

Sastra Islam Kisah 1001 Malam (Edisi 29 Mei 2014)


Aladin Dan Lampu Wasiat : 1. Si Bocah Bengal
Pada suatu hari. Ketika Aladin bermain seperti biasa dengan sekelompok anak-anak jalanan, ada seorang asing, yang sedang lewat, berhenti untuk memperhatikannya. Orang asing ini adalah seorang tukang sihir terkenal dari Afrika. Orang ini telah tiba dari Afrika dua hari sebelumnya.

Dengan cerdik dia bertanya-tanya tentang keluarga Aladin, siapa dia, dan apa kesukaannya. Ketika dia telah mengetahui semua data tentang anak itu, dia dekati anak muda itu dan, sambil mengajaknya menjauh beberapa langkah dari kawan-kawannya, ia bertanya, “Nak, bukankah ayahmu bernama  Mustafa si penjahit?”

Aladin menjawab, “Ya, tuan, tapi dia telah meninggal lama sekali.” Mendengar kata-kata ini, tukang sihir Afrika itu merangkul leher Aladin, memeluknya, dan menciuminya berkali-kali, mengeluh dan berurai air mata. Aladin, yang melihat air matanya, bertanya-tanya padanya mengapa dia menangis.

Tukang sihir Afrika itu berseru, “Sayang sekali, anakku, bagaimana aku dapat menahannya? Aku pamanmu, dan ayahmu adalah kakak yang baik. Aku telah berkelana ke luar negeri selama bertahun-tahun, baru saja aku pulang, tapi kau memberitahuku bahwa ayahmu telah meninggal. Aku aku sangat sedih.. ”

Lalu sambil meletakkan tangannya di dompetnya, dia bertanya pada Aladin di mana ibunya tinggal, dan begitu Aladin memberitahunya, dia memberinya uang receh, sambil berkata, “Nak, pergilah temui ibumu, sampaikan salamku, dan katakan padanya jika waktuku cukup, aku akan datang untuk menjenguknya besok.”

Begitu tukang sihir Afrika meninggalkan keponakan yang baru saja di jumpainya, Aladin lari menemui ibunya, dengan sangat gembira karena uang yang baru saja di berikan kepadanya. Di rumah dia berkata pada ibunya, “Ibu, tolong, katakan apakah aku punya paman.”

Ibunya menjawab, “Tidak, Nak, kau tidak punya paman, dari pihak ibumu maupun dari pihak ayahmu.”

Aladin berkata. “Tapi aku baru saja bertemu seorang laki-laki yang mengatakan dirinya pamanku dari pihak ayah, dan menyakinkanku bahwa dia adiknya. Dia bahkan memelukku dan menangis ketika aku katakan padannya bahwa ayah sudah meninggal.”

Dia menambahkan, sambil menunjukkan pada ibunya uang yang telah diterimanya, “Untuk membuktikan bahwa aku tidak membohongimu, inilah yang diberikannya padaku. Dia juga menyuruhku untuk menyampaikan salam padamu dan besok, jika dia punya waktu, dia akan datang sendiri mengunjungimu.”

Ibunya berkata, “Nak, memang benar ayahmu punya seorang adik, tapi dia telah meninggal lama sekali, dan aku tidak pernah mendengarnya mengatakan bahwa dia punya saudara lain.”

Mereka tidak membicarakab lagi tentang tukang sihir Afrika itu. Pada hari berikutnya, tukang sihir Afrika itu mendeketi Aladin untuk kedua kalinya, saat itu Aladin sedang bermain di bagian lain kota itu dengan beberapa anak lain. Dia memeluknya, seperti yang dilakukannya pada hari sebelumnya, dan, sambil meletakkan dua keping emas ke tangannya, dia berkata padanya, “Nak, bawalah uang ini kepada ibumu, katakan padanya bahwa aku akan datang mengunjunginya malam ini, dan minta dia membeli sesuatu untuk makan malam, agar dapat makan bersama, tapi pertama-pertama katakan padamu di mana rumahnya.”

Aladin mengatakan letak rumahnya, dan tukang sihir Afrika itu membiarkannya pergi. Aladin membawa kedua keping emas itu kepada ibunya, dan ketika dia mengatakan padanya tentang keinginan pamannya, Wanita itu pergi sesuai permintaannya dan kembali dengan pesediaan yang cukup banyak, dan karena dia tidak punya piring, dia pergi untuk meminjamnya dari tetangga. Dia melewatkan sepanjang hari itu menyiapkan makan malam dan di malam harinya, ketika semuanya sudah siap, dia berkata pada Aladin, “Nak, mungkin pamanmu tidak tahu jalan kerumah kita ini. Pergilah untuk mencarinya, dan, bawalah dia jika kau bertemu dengannya.”

Aladin baru saja hendak pergi, namun saat itu seseorang mengetuk pintu. Ketika dia membukanya, ternyata tukang sihir Afrika itu datang  dengan membawa botol-botol anggur dan segala macam buah-buahan.

Setelah tukang sihir Afrika itu menyerahkan pada Aladin apa yang dibawanya, dia menyalami ibu Aladin dan memintanya untuk menunjukan di mana kakaknya Mustafa biasa duduk. Ketika wanita itu menunjukannya padanya, dengan segera dia membungkuk dan mencium kursi tempat duduk itu beberapa kali dan, dengan air mata bercucuran, dia berseru, “Wahai kakakku tercinta, betapa malangnya aku karena tidak datang sebelumnya untuk memelukmu sekali lagi sebelum kau meninggal.”

Meskipun ibu Aladin mengundangnya untuk duduk di tempat yang sama, dia menolak, sambil berkata, “Tidak, lebih baik tidak, tapi izinkan aku duduk untuk menghadapnya, sehingga, jika aku tidak mendapatkan kepuasan untuk memandang secara langsung kepada keluarga ini, yang begitu kusayangi, setidak-tidaknya aku bisa melihat tempat di mana dia biasa berada.”

Ibu Aladin tidak mendesaknya lagi melainkan membiarkannya memilih sendiri tempat duduk yang disukainya.

Keika dia duduk di tempat yang di kehendakinya, dia mulai bercakap-cakap dengan ibu Aladin. Katanya, “Kakakku yang baik, jangan terkejut karena tidak pernah melihatku sepanjang waktu kau menikah dengan kakakku Mustafa. Empat puluh tahun yang lalu, aku meninggalkan negeri ini. Setelah aku menjelejah India, Persia, Arabia, Syiria, dan Mesir. Akhirnya aku pulang. Aku melihat kemiripannya dengan wajah  keponakanku, putramu. Tapi sungguh tak kusangka kakakku pergi secepat itu menghadap Tuhan.”

Tukang sihi Afrika itu, ketika menyaksikan bahwa ibu Aladin tergerak hatinya oleh kesedihan baru karena diingatkan pada suaminya, mengganti bahan pembicaraan dan bertanya pada Aladin,”Siapa namamu, Nak?”

Anak muda itu menjawab, “Sku dinamakan Aladin.”

Tukang sihir itu berkata, “Nah, Aladin, apa pekerjaanmu? Apakah kau punya pekerjaan?”

Mendengar pertanyaan ini, Aladin menunduk, merasa malu, tapi ibunya menjawab, “Aladin itu pemalas, meskipun aku sudah sering menasihatinya, dia tidak punya pekerjaan, dan hanya membuang-buang waktunya bermain dengan anak-anak.”

Ketika ibu Aladin selesai berbicara, sambil bercucuran air mata, tukang sihir Afrika itu berkata pada Aladin, “Keponakan! Kau harus berpikir untuk mencari nafkah. Ada segela macam pekerjaan.”

Ketika dia tahu bahwa Aladin tidak menjawab, dia melanjutkan, “Begini saja. Jika kau tidak suka belajar pekerjaan apa saja, aku akan menyewa toko untukmu dan mengisinya dengan kain-kain yang bagus dan menempatkanmu disana  untuk menjualnya.”

Usulan ini sangat menyenangkan Aladin yang tidak menyukai pekerjaan tangan, apalagi karena dia cukup cerdas untuk mengetahui bahwa toko-toko yang menjualnya barang-barang semacam itu sangat dihargai dan banyak yang di kunjungi orang dan bahwa para pemiliknya berpakain bagus dan di hormati.

“Baik saya setuju, Paman.”

Tukan sihir Afrika itu berkata, “Karena pekerjaan ini cocok denganmu, aku akan mengajakmu besok dan membelikanmu pakain bagus yang sesuai untuk pedagang terkemuka di kota, dan besok lusa, kita akan memikirkan untuk membuka toko yang telah kubayangkan.”

Keesokan harinya, dia kembali mendatangi janda Mustafasi penjahit, seperti yang telah di janjikannya, dan, membawa serta Aladin untuk mendatangi seorang pedegang besa yang menjual hanya pakain siap pakai dari bahan yang halus untuk semua umur dan  tingkatan. Dia berkata pada Aladin, “Keponakan, pilihlah di antara semua ini yang paling kau sukai.”

Aladin yang terpesona oleh kedermawanan pamannya yang baru, memilih satu, yang dibeli oleh si tukang sihir, bersama dengan semua perlengkapan yang menyertainya, dan membayangkan, tanpa tawar menawar.

Ketika Aladin memandang dirinya sendiri  dalam pakain mewah dari kepala hingga ujung kaki, dia berkali-kali mengucapkan terima kasih pada pamannya.

Tukang sihir itu mengajak Aladin ke tempat-tempat yang paling banyak dikunjungi di kota, terutama di lokasi toko-toko milik para pedagang paling terkemuk, dan ketika mereka berada di jalan di mana kain-kain yang paling bagus paling halus dijual.

Dia juga menunjukan padanya masjid-masjid paling besar dan paling indah dan mengajaknya ke tempat-tempat penginapan di mana para pedagang asing tinggal dan ke seluruh bagian istana raja yang diizinkan untuk dimasuki. Akhirnya, setelah mereka mengunjungi bersama tempat yang paling indah di kota., tukang sihir itu  membawanya pulang kembali kepada ibunya, yang ketika dia melihat putranya berpakaian begitu indah, menjadi sangat gembira dan berterima kasih untuk si tukang sihir.

Tukang sihir Afrika itu berkata, “Aladin adalah seorang pemuda yang baik dan cukup patuh kepadaku, dan aku yakin bahwa kami akan bekerja sama dengan baik. Tapi ada satu hal yang menggangguku, yaitu bahwa aku tidak akan dapat melakasanakan besok apa yang telah kujanjikan padanya, sebab besok hari Jum’at dan toko-toko akan tutup, dan kami tidak dapat menyewa atau memesannya sementara para pedagang sibuk menghibur diri mereka sendiri. Karena itu, kami akan menunda urusannya sampai hari Sabtu, tapi besok aku akan datang dan mengajaknya pergi berjalan-jalan di taman, di mana orang-orang terkemuka biasanya berkumpul.

Lalu dia minta diri dari ibu dan putranya dan pergi. Aladin yang kesenangan melihat dirinya berpakaian begitu indah, membayang-bayangkan kegembiraan berjalan-jalan di taman yang terhampar seputar kota, sebab dia belum pernah berada di luar gerbang kota.

Bersambung

(Sumber : Buku Kisah 1001 Malam Karya MB. Rahimsyah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar