Aladin Dan Lampu Wasiat : 1. Si Bocah Bengal
Pada
suatu hari. Ketika Aladin bermain seperti biasa dengan sekelompok anak-anak
jalanan, ada seorang asing, yang sedang lewat, berhenti untuk memperhatikannya.
Orang asing ini adalah seorang tukang sihir terkenal dari Afrika. Orang ini
telah tiba dari Afrika dua hari sebelumnya.
Dengan
cerdik dia bertanya-tanya tentang keluarga Aladin, siapa dia, dan apa
kesukaannya. Ketika dia telah mengetahui semua data tentang anak itu, dia dekati
anak muda itu dan, sambil mengajaknya menjauh beberapa langkah dari
kawan-kawannya, ia bertanya, “Nak, bukankah ayahmu bernama Mustafa si penjahit?”
Aladin
menjawab, “Ya, tuan, tapi dia telah meninggal lama sekali.” Mendengar kata-kata
ini, tukang sihir Afrika itu merangkul leher Aladin, memeluknya, dan
menciuminya berkali-kali, mengeluh dan berurai air mata. Aladin, yang melihat
air matanya, bertanya-tanya padanya mengapa dia menangis.
Tukang
sihir Afrika itu berseru, “Sayang sekali, anakku, bagaimana aku dapat
menahannya? Aku pamanmu, dan ayahmu adalah kakak yang baik. Aku telah berkelana
ke luar negeri selama bertahun-tahun, baru saja aku pulang, tapi kau
memberitahuku bahwa ayahmu telah meninggal. Aku aku sangat sedih.. ”
Lalu
sambil meletakkan tangannya di dompetnya, dia bertanya pada Aladin di mana ibunya
tinggal, dan begitu Aladin memberitahunya, dia memberinya uang receh, sambil
berkata, “Nak, pergilah temui ibumu, sampaikan salamku, dan katakan padanya
jika waktuku cukup, aku akan datang untuk menjenguknya besok.”
Begitu
tukang sihir Afrika meninggalkan keponakan yang baru saja di jumpainya, Aladin
lari menemui ibunya, dengan sangat gembira karena uang yang baru saja di
berikan kepadanya. Di rumah dia berkata pada ibunya, “Ibu, tolong, katakan
apakah aku punya paman.”
Ibunya
menjawab, “Tidak, Nak, kau tidak punya paman, dari pihak ibumu maupun dari
pihak ayahmu.”
Aladin
berkata. “Tapi aku baru saja bertemu seorang laki-laki yang mengatakan dirinya
pamanku dari pihak ayah, dan menyakinkanku bahwa dia adiknya. Dia bahkan
memelukku dan menangis ketika aku katakan padannya bahwa ayah sudah meninggal.”
Dia
menambahkan, sambil menunjukkan pada ibunya uang yang telah diterimanya, “Untuk
membuktikan bahwa aku tidak membohongimu, inilah yang diberikannya padaku. Dia
juga menyuruhku untuk menyampaikan salam padamu dan besok, jika dia punya
waktu, dia akan datang sendiri mengunjungimu.”
Ibunya
berkata, “Nak, memang benar ayahmu punya seorang adik, tapi dia telah meninggal
lama sekali, dan aku tidak pernah mendengarnya mengatakan bahwa dia punya
saudara lain.”
Mereka
tidak membicarakab lagi tentang tukang sihir Afrika itu. Pada hari berikutnya,
tukang sihir Afrika itu mendeketi Aladin untuk kedua kalinya, saat itu Aladin
sedang bermain di bagian lain kota itu dengan beberapa anak lain. Dia
memeluknya, seperti yang dilakukannya pada hari sebelumnya, dan, sambil
meletakkan dua keping emas ke tangannya, dia berkata padanya, “Nak, bawalah
uang ini kepada ibumu, katakan padanya bahwa aku akan datang mengunjunginya
malam ini, dan minta dia membeli sesuatu untuk makan malam, agar dapat makan
bersama, tapi pertama-pertama katakan padamu di mana rumahnya.”
Aladin
mengatakan letak rumahnya, dan tukang sihir Afrika itu membiarkannya pergi.
Aladin membawa kedua keping emas itu kepada ibunya, dan ketika dia mengatakan
padanya tentang keinginan pamannya, Wanita itu pergi sesuai permintaannya dan
kembali dengan pesediaan yang cukup banyak, dan karena dia tidak punya piring,
dia pergi untuk meminjamnya dari tetangga. Dia melewatkan sepanjang hari itu
menyiapkan makan malam dan di malam harinya, ketika semuanya sudah siap, dia
berkata pada Aladin, “Nak, mungkin pamanmu tidak tahu jalan kerumah kita ini.
Pergilah untuk mencarinya, dan, bawalah dia jika kau bertemu dengannya.”
Aladin
baru saja hendak pergi, namun saat itu seseorang mengetuk pintu. Ketika dia
membukanya, ternyata tukang sihir Afrika itu datang dengan membawa botol-botol anggur dan segala
macam buah-buahan.
Setelah
tukang sihir Afrika itu menyerahkan pada Aladin apa yang dibawanya, dia
menyalami ibu Aladin dan memintanya untuk menunjukan di mana kakaknya Mustafa
biasa duduk. Ketika wanita itu menunjukannya padanya, dengan segera dia
membungkuk dan mencium kursi tempat duduk itu beberapa kali dan, dengan air
mata bercucuran, dia berseru, “Wahai kakakku tercinta, betapa malangnya aku
karena tidak datang sebelumnya untuk memelukmu sekali lagi sebelum kau
meninggal.”
Meskipun
ibu Aladin mengundangnya untuk duduk di tempat yang sama, dia menolak, sambil
berkata, “Tidak, lebih baik tidak, tapi izinkan aku duduk untuk menghadapnya,
sehingga, jika aku tidak mendapatkan kepuasan untuk memandang secara langsung
kepada keluarga ini, yang begitu kusayangi, setidak-tidaknya aku bisa melihat
tempat di mana dia biasa berada.”
Ibu
Aladin tidak mendesaknya lagi melainkan membiarkannya memilih sendiri tempat
duduk yang disukainya.
Keika
dia duduk di tempat yang di kehendakinya, dia mulai bercakap-cakap dengan ibu
Aladin. Katanya, “Kakakku yang baik, jangan terkejut karena tidak pernah
melihatku sepanjang waktu kau menikah dengan kakakku Mustafa. Empat puluh tahun
yang lalu, aku meninggalkan negeri ini. Setelah aku menjelejah India, Persia,
Arabia, Syiria, dan Mesir. Akhirnya aku pulang. Aku melihat kemiripannya dengan
wajah keponakanku, putramu. Tapi sungguh
tak kusangka kakakku pergi secepat itu menghadap Tuhan.”
Tukang
sihi Afrika itu, ketika menyaksikan bahwa ibu Aladin tergerak hatinya oleh
kesedihan baru karena diingatkan pada suaminya, mengganti bahan pembicaraan dan
bertanya pada Aladin,”Siapa namamu, Nak?”
Anak
muda itu menjawab, “Sku dinamakan Aladin.”
Tukang
sihir itu berkata, “Nah, Aladin, apa pekerjaanmu? Apakah kau punya pekerjaan?”
Mendengar
pertanyaan ini, Aladin menunduk, merasa malu, tapi ibunya menjawab, “Aladin itu
pemalas, meskipun aku sudah sering menasihatinya, dia tidak punya pekerjaan,
dan hanya membuang-buang waktunya bermain dengan anak-anak.”
Ketika
ibu Aladin selesai berbicara, sambil bercucuran air mata, tukang sihir Afrika
itu berkata pada Aladin, “Keponakan! Kau harus berpikir untuk mencari nafkah.
Ada segela macam pekerjaan.”
Ketika
dia tahu bahwa Aladin tidak menjawab, dia melanjutkan, “Begini saja. Jika kau
tidak suka belajar pekerjaan apa saja, aku akan menyewa toko untukmu dan mengisinya
dengan kain-kain yang bagus dan menempatkanmu disana untuk menjualnya.”
Usulan
ini sangat menyenangkan Aladin yang tidak menyukai pekerjaan tangan, apalagi
karena dia cukup cerdas untuk mengetahui bahwa toko-toko yang menjualnya
barang-barang semacam itu sangat dihargai dan banyak yang di kunjungi orang dan
bahwa para pemiliknya berpakain bagus dan di hormati.
“Baik
saya setuju, Paman.”
Tukan
sihir Afrika itu berkata, “Karena pekerjaan ini cocok denganmu, aku akan
mengajakmu besok dan membelikanmu pakain bagus yang sesuai untuk pedagang
terkemuka di kota, dan besok lusa, kita akan memikirkan untuk membuka toko yang
telah kubayangkan.”
Keesokan
harinya, dia kembali mendatangi janda Mustafasi penjahit, seperti yang telah di
janjikannya, dan, membawa serta Aladin untuk mendatangi seorang pedegang besa
yang menjual hanya pakain siap pakai dari bahan yang halus untuk semua umur
dan tingkatan. Dia berkata pada Aladin,
“Keponakan, pilihlah di antara semua ini yang paling kau sukai.”
Aladin
yang terpesona oleh kedermawanan pamannya yang baru, memilih satu, yang dibeli
oleh si tukang sihir, bersama dengan semua perlengkapan yang menyertainya, dan
membayangkan, tanpa tawar menawar.
Ketika
Aladin memandang dirinya sendiri dalam
pakain mewah dari kepala hingga ujung kaki, dia berkali-kali mengucapkan terima
kasih pada pamannya.
Tukang
sihir itu mengajak Aladin ke tempat-tempat yang paling banyak dikunjungi di
kota, terutama di lokasi toko-toko milik para pedagang paling terkemuk, dan
ketika mereka berada di jalan di mana kain-kain yang paling bagus paling halus
dijual.
Dia
juga menunjukan padanya masjid-masjid paling besar dan paling indah dan
mengajaknya ke tempat-tempat penginapan di mana para pedagang asing tinggal dan
ke seluruh bagian istana raja yang diizinkan untuk dimasuki. Akhirnya, setelah
mereka mengunjungi bersama tempat yang paling indah di kota., tukang sihir
itu membawanya pulang kembali kepada
ibunya, yang ketika dia melihat putranya berpakaian begitu indah, menjadi
sangat gembira dan berterima kasih untuk si tukang sihir.
Tukang
sihir Afrika itu berkata, “Aladin adalah seorang pemuda yang baik dan cukup
patuh kepadaku, dan aku yakin bahwa kami akan bekerja sama dengan baik. Tapi
ada satu hal yang menggangguku, yaitu bahwa aku tidak akan dapat melakasanakan
besok apa yang telah kujanjikan padanya, sebab besok hari Jum’at dan toko-toko
akan tutup, dan kami tidak dapat menyewa atau memesannya sementara para
pedagang sibuk menghibur diri mereka sendiri. Karena itu, kami akan menunda
urusannya sampai hari Sabtu, tapi besok aku akan datang dan mengajaknya pergi
berjalan-jalan di taman, di mana orang-orang terkemuka biasanya berkumpul.
Lalu
dia minta diri dari ibu dan putranya dan pergi. Aladin yang kesenangan melihat
dirinya berpakaian begitu indah, membayang-bayangkan kegembiraan berjalan-jalan
di taman yang terhampar seputar kota, sebab dia belum pernah berada di luar
gerbang kota.
Bersambung
(Sumber
: Buku Kisah 1001 Malam Karya MB. Rahimsyah)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar