Gadis Mesir Itu Bernam Maria
Tengah
hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala di
langit. Seumpama api yang menjulur dan menjilat-jilati bumi. Tanah dan pasir
menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang
bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.
Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam
apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendala dan tirai tertutup rapat.
Dalam
kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya sangat malas
keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Apa tidak
gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah mimisan,
hidungnya mengeluarkan darah. Teman satu flat yang langganan mimisan di puncak
musim panas adalah Saiful. Tiga hari ini, memasuki pukul sebelas siang pukul
tujuh petang, darah selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar
flat sama sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalahkan
kipas angin. Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.
Dengan
tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen aku bersiap untuk keluar.
Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq
yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi pada Syaikh
Ustman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku belajar qira’ah sab’ah dan ushul
tafsir. Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khusari, ulama legendaris yang
mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru Besarnya Para
Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an di Mesir.
Jadwalku
mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap
Ahad dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen. Tak
kenal cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan tidak uzur yang teramat penting,
beliau pasti datang. Sangat tidak enak
jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu udara. Sebab beliau tidak
sembarang menerima murid untuk talaqqi qiraah sab’ah. Siapa saja yang ingin
belajar qiraah sab’ah terlebih dahulu akan beliau uji hafan Al-Qur’an tiga
puluh juz dengan qiraah bebas. Boleh Imam Warasy. Boleh Imam Hafsh. Atau
lainnya. Tahun ini beliau hanya menerima sepuluh orang murid. Aku termasuk
sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau sangat
mengenalku. Itu karena, di samping sejak tahun pertama kuliah aku sudah hafalan
Al-Qur’an pada beliau di serambi masjid Al-Azhar, juga karena di antara sepuluh
orang yang terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan oang Mesir.
Aku satu-satunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak
heran jika beliau meng-anakemas-kan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak
ada yang merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati padaku. Itulah
sebabnya, jika aku absen pasti akan langsung ditelpon oleh Syaikh Utsman dan
teman-teman. Mereka akan bertanya kenapa tidak datang? Apa sakit? Apa ada
halangan dan lain sebagainya. Maka Maka aku harus tetap berusaha datang selama
masih mampu menempuh perjalanan sampai ke Shubra, meskipun panas membara dan
badai debu bergulung-gulung di luar sana. Meskipun jarak yang ditempuh lima
puluh kilo meter lebih jauhnya.
Kuambil
mushaf tercinta
Kucium
penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong hijau tua.
Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia menemani diriku menuntut
ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini, saat menempuh S.2. di
universitas tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku mengambil sau botol kecil
berisi air putih di kulkas. Kumasukkan dalam plastik hitam lalu kumasukkan
dalam tas. Aku selalu membiasakan diri membawa air putih jika beergian, selain
sangat berguna juga merupakan salah satu bentuk penghematan yang sangat terasa.
Apalagi selama menempuh perjalanan jauh dari Hadayek Helwan sampai Shubra
El-Khaima dengan metro, tidak akan ada yang menjual minuman.
Aku
sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara terdengar
mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya di luar
sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana yang jauh dari
nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkalu ala Allah, pelan-pelan
kubuka pintu apartemen. Dan...
Wuss!
Angin
sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal bercampur pasir
menari-nari di mana-mana. Kututup kembali pintu apartemen. Rasanya aku
melupakan sesuatu.
“Mas
Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya istirihat
saja di rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar mandi. Darah yang
merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.
“Insya
Allah tidak akan terjadi apa-apa. Aku sangat tidak enak pada Syaikh Utsman jika
tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun selalu datang. Beliau saja yang sudah berumur
tujuh puluh lima tahun selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas
atau dingin. Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo,”
tukasku sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca mata
hitam.
“Allah
yubarik fik, Mas” Ujarnya serak. Tangan kanannya mengusapkan tangan pada
hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.
“Wa
iyyakum!” balasku sambil memakai kaca mata hitam dan memakai topi menutupi
kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.
“Sudah
bawa air putih, Mas?”
Aku
mengangguk.
“Saif,
Rudi minta dibangunkan pukul setengah
dua. Tadi malam dia lembur bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi. Terus
tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng. Hari ini dia
yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi. Dia
paling suka masak oseng-oseng wortel campur kofta9. Kebetulan wortel dan
koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.”
Sebagai
yang dipercaya untuk jadi kepala
keluarga—meskipun tanpa seorang ibu rumah tangga—aku harus jeli memperhatikan
kebutuhan dan kesejahteraan anggota. Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi, Hamdi
dan Mishbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir. Secara
akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menunggu pengumuman untuk
menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program S.1. Saiful dan Rudi
baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang
menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc.
atau Licence. Mereka semua telah
menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal
Agustus biasanya pengumuman keluar. Namun sampai hari ini, pengumuman belum
juga keluar.
Dan
hari ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful dan
Rudi. Adapun Hamdi sudah dua hari ini punya kegiatan di Dokki, tepatnya di
Masjid Indonesia Cairo. Ia diminta untuk memberikan pelatihan kepemimpinan pada
remaja masjid yang semuanya adalah putera-puteri para pejabat KBRI. Siang ini
katanya selesai, dan nanti sore dia pulang. Sedangkan Mishbah sedang berada di
Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Katanya ia
harus menginap di Wisma Nusantara, di tempatnya Mas Khalid, untuk merancang draft pelatihan ekonomi Islam
bersama Profesor Maulana Husein Shahata, pertengahan September
depan.Masing-masing penghuni flat ini punya kesibukan. Aku sendiri yang sudah
tidak aktif di organisasi manapun, juga mempunyai jadwal dan kesibukan. Membaca
bahan untuk tesis, talaqqi qiraah sab’ah, menerjemah, dan diskusi intern dengan
teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh S.2. dan S.3. di
Cairo.Urusan-urusan kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika
tidak diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan mengganggu
keharmonisan. Kami berlima sudah seperti saudara kandung. Saling mencintai, mengasihi dan mengerti.
Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada yang diistimewakan. Semboyan
kami, baiti jannati. Rumahku adalah
surgaku. Tempat yang kami tinggali ini harus
benar-benar menjadi tempat yang menyenangkan. Dan sebagai yang paling
tua aku bertanggung jawab untuk membawa mereka pada suasana yang mereka
inginkan.
Aku
melangkah ke pintu.
“Saif.
Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku
mengingatkan sebelum membuka pintu.
“Insya
Allah, Mas.”
Di
luar sana angin terdengar mendesau-desau. Benar kata Saiful, cuaca sebetulnya
kurang baik.
Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada
hari yang lebih panas dari hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika
manusia digiring di padang Mahsyar
dengan matahari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau tidak
ingat, bahwa keberadaanku di kota seribu
menara ini adalah amanat. Dan amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti.
Kalau tak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan dipertanyakan kelak. Kalau tak ingat, bahwa
tidak semua orang diberi nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak
ingat,
bahwa aku belajar di sini dengan menjual satu-satunya sawah warisan dari kakek.
Kalau tidak ingat bahwa aku dilepas dengan linangan air mata dan selaksa doa
dari ibu, ayah dan sanak saudara. Kalau tak ingat bahwa jadwal adalah janji
yang harus ditepati. Kalau tak ingat itu semua, shalat zhuhur di kamar saja
lalu tidur nyantai menyalakan kipas dan mendengarkan lantunan lagu El-Himl El-Arabi atau El-Hubb El-Haqiqi, atau
untaian shalawatnya Emad Rami dari Syiria itu, tentu rasanya nyaman sekali.
Apalagi jika diselingi minum ashir 10
mangga yang sudah didinginkan satu minggu di dalam kulkas atau makan buah
semangkayang sudah dua hari didinginkan. Masya Allah, alangkah segarnya.
Kubuka
pintu apartemen perlahan.
Wuss!
Angin
sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu menuruni tangga satu
per satu. Flat kami ada di tingkat tiga. Gedung apartemen ini hanya enam
tingkat dan tidak punya lift. Sampai di halaman apartemen, jilatan panas
matahari seakan menembus topi hitam dan kopiah putih yang menempel di kepalaku.
Seandainya tidak memakai kaca mata hitam, sinarnya yang benderang akan terasa perih menyilaukan mata.
Kulangkahkan
kaki ke jalan.
“Psst..psst...Fahri!
Fahri!”
Kuhentikan
langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil namaku dari atas.
Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari asal suara. Di tingkat
empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir berwajah bersih membuka
jendela kamarnya sambil tersenyum. Matanya yang bening
menatapku
penuh binar.
“Hei
Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
“Shubra.”
“Talaqqi
Al-Qur’an ya?”
Aku
mengangguk.
“Pulangnya
kapan?”
“Jam
lima, insya Allah.”
“Bisa
nitip?”
“Nitip
apa?”
“Belikan
disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”
“Baik,
insya Allah.”
Aku
membalikkan badan dan melangkah.
“Fahri,
istanna suwayya!”
“Fi
eh kaman?”
Aku
urung melangkah.
“Uangnya.”
“Sudah,
nanti saja, gampang.”
“Syukran
Fahri.”
“Afwan.”
Aku
cepat-cepat melangkah ke jalan menuju masjid untuk shalat zhuhur. Panasnya
bukan main.
Gadis
Mesir itu, namanya Maria. Ia juga senang
dipanggil Maryam. Dua nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan
Boutros Rafael Girgis. Berasal dari keluarga besar Girgis. Sebuah keluarga
Kristen Koptik yang sangat taat. Bisa dikatakan, keluarga Maria adalah tetangga
kami paling akrab. Ya, paling akrab. Flat atau rumah mereka berada tepat di atas
flat kami. Indahnya, mereka sangat sopan dan menghormati kami mahasiswa
Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar.
Maria
gadis yang unik.Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya
qibthi, namun ia suka pada Al-Qur’an. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an.
Di antaranya
surat
Maryam. Sebuah surat yang membuat dirinya merasa bangga. Aku mengetahui hal itu
pada suatu kesempatan berbincang dengannya di dalam metro. Kami tak sengaja
berjumpa. Ia pulang kuliah dari Cairo University, sedangkan aku juga pulang
kuliah dari Al Azhar University. Kami duduk satu bangku.
Suatu kebetulan.
“Hei
namamu Fahri, iya ‘kan?”
“Benar.”
“Kau
pasti tahu namaku, iya ‘kan?”
“Iya.
Aku tahu. Namamu Maria. Puteri Tuan Boutros Girgis.”
“Kau
benar.”
“Apa bedanya Maria dengan Maryam?”
“Maria
atau Maryam sama saja. Seperti David dengan Daud. Yang jelas namaku tertulis
dalam kitab sucimu. Kitab yang paling
banyak dibaca umat manusia di dunia sepanjang sejarah. Bahkan jadi nama sebuah
surat. Surat kesembilan belas, yaitu surat Maryam. Hebat bukan?”
“Hei,
bagaimana kau mengatakan Al-Qur’an adalah kitab suci paling banyak dibaca umat
manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?” selidikku penuh rasa kaget
dan penasaran.
“Jangan
kaget kalau aku berkata begitu. Ini namanya objektif. Memang kenyataannya
demikian. Charles Francis Potter mengatakan
seperti itu. Bahkan jujur kukatakan, ‘Al-Qur’an jauh lebih dimuliakan dan
dihargai daripada kitab suci lainnya. Ia lebih dihargai daripada Perjanjian
Baru dan Perjanjian Lama. Pendeta J. Shillidy dalam bukunya The Lord Jesus in The Koran memberikan
kesaksian seperti itu. Dan pada kenyataannya tak ada buku atau kitab di dunia
ini yang dibaca dan dihafal oleh jutaan manusia setiap detik melebihi
Al-Qur’an. Di Mesir saja ada sekitar sepuluh ribu Ma’had Al Azhar. Siswanya ratusan ribu bahkan
jutaan anak. Mereka semua sedang menghafalkan Al-Qur’an. Karena mereka tak akan
lulus dari Ma’had Al Azhar kecuali harus hafal Al-Qur’an. Aku saja, yang
seorang Koptik suka kok menghafal Al-Qur’an. Bahasanya indah dan enak
dilantunkan,” cerocosnya santai tanpa ada keraguan.
“Kau
juga suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?” heranku.
“Ada
yang aneh?”
Aku
diam tidak menjawab.
“Aku
hafal surat Maryam dan surat Al-Maidah di luar kepala.”
“Benarkah?”
“Kau
tidak percaya? Coba kau simak baik-baik!”
Maria
lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih
dahulu
membaca ta’awudz dan basmalah. Ia tahu
adab dan tata cara membaca
Al-Qur’an.
Jadilah perjalanan dari Mahattah Anwar Sadat Tahrir sampai Tura
El-Esmen
kuhabiskan untuk menyimak seorang Maria membaca surat Maryam
dari
awal sampai akhir. Nyaris tak ada satu
huruf pun yang ia lupa. Bacaannya
cukup
baik meskipun tidak sebaik mahasiswi Al Azhar. Dari Tura El-Esmen
hingga
Hadayek Helwan Maria mengajak berbincang
ke mana-mana. Aku tak
menghiraukan
tatapan orang-orang Mesir yang heran aku akrab dengan Maria.
Itulah
Maria, gadis paling aneh yang pernah kukenal. Meskipun aku sudah
cukup
banyak tahu tentang dirinya, baik melalui ceritanya sendiri saat tak sengaja
bertemu
di metro, atau melalui cerita ayahnya
yang ramah. Tapi aku masih
menganggapnya
aneh. Bahkan misterius. Ia gadis yang sangat cerdas. Nilai ujian
akhir
Sekolah Lanjutan Atasnya adalah terbaik kedua tingkat nasional Mesir. Ia
masuk
Fakultas Komunikasi, Universitas Cairo.
Dan tiap tingkat selalu meraih
predikat mumtaz atau
cumlaude. Ia selalu terbaik di fakultasnya. Ia pernah
ditawari
jadi reporter Ahram, koran terkemuka di Mesir. Tapi ia tolak. Ia lebih
memilih
jadi penulis bebas. Ia memang gadis Koptik yang aneh. Menurut
pengakuannya
sendiri, ia paling suka dengar suara azan, tapi pergi ke gereja tidak
pernah
ia tinggalkan. Sekali lagi, ia memang gadis Koptik yang aneh. Aku tidak
tahu
jalan pikirannya.
Selama
ini, aku hanya mendengar dari bibirnya yang tipis itu hal-hal yang positif
tentang Islam. Dalam hal etika berbicara dan bergaul ia terkadang lebih Islami
daripada gadis-gadis Mesir yang mengaku
muslimah. Jarang sekali kudengar ia tertawa cekikikan. Ia lebih suka tersenyum
saja. Pakaiannya longgar, sopan dan rapat. Selalu berlengan panjang dengan
bawahan panjang sampai tumit. Hanya saja, ia tidak memakai jilbab. Tapi itu
jauh lebih sopan ketimbang gadis-gadis Mesir seusianya yang berpakaian ketat
dan bercelana ketat, dan tidak jarang bagian perutnya sedikit terbuka. Padahal mereka banyak yang mengaku muslimah.
Maria suka pada Al-Qur’an. Ia sangat
mengaguminya, meskipun ia tidak pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada
Al-Qur’an bahkan melebihi beberapa intelektual muslim.
Ia
pernah cerita, suatu kali ia ikut
diskusi tentang aspek kebahasaan Al-Qur’an di Fakultas Sastra
Universitas Cairo. Pemakalahnya adalah seorang doktor filsafat jebolan Sorbonne
Perancis. Maria merasa risih sekali dengan kepongahan doktor itu yang
mengatakan Al-Qur’an tidak sakral karena dilihat dari aspek kebahasaan ada
ketidakberesan. Doktor itu mencontohkan dalam Al-Qur’an adarangkaian huruf yang
tidak diketahui maknanya. Yaitu, alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa
siin, thaaha nuun, kaf ha ya ‘ain shaad,
dan sejenisnya. Maria berkata padaku,
“Fahri,
aku geli sekali mendengar perkataan doktor dari Sorbonne itu. Dia itu orang
Arab, juga muslim, tapi bagaimana bisa mengatakan hal yang stupid begitu. Aku saja yang Koptik bisa
merasakan betapa indahnya Al-Qur’an dengan alif laam miim-nya. Kurasa
rangkaian huruf-huruf seperti alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa
siin, nuun, kaf ha ya ‘ain shaad adalah
rumus-rumus
Tuhan
yang dahsyat maknanya. Susah diungkapkan maknanya, tapi keagungannya bisa
ditangkap oleh mereka yang memiliki cita rasa bahasa Arab yang tinggi. Jika
susunan itu dianggap sebagai suatu ketidakberesan, orang-orang kafir Quraisy
yang sangat tidak suka pada Al-Qur’an dan memusuhinya sejak dahulu tentu akan
mengambil kesempatan adanya ketidakberesan itu untuk menghancurkan Al-Qur’an.
Dan tentu mereka sudah mencela bahasa Al-Qur’an habis-habisan sepanjang
sejarah. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Mereka mengakui keindahan
bahasanya yang luar biasa. Mereka menganggap bahasa Al-
Qur’an
bukan bahasa manusia biasa tapi bahasa
yang datang dari langit. Jadi kukira doktor itu benar-benar stupid. Tidak
semestinya seorang doktor sekelas dia mengatakan hal seperti itu.”
Aku
lalu menjelaskan kepada Maria segala hal berkaitan dengan alim laam miim dalam Al-Qur’an.
Lengkap dengan segala rahasia yang digali oleh para ulama dan ahli tafsir.
Maknanya, hikmahnya, dan pengaruhnya dalam jiwa. Juga kuterangkan bahwa
pendapat Maria yang mengatakan
huruf-huruf itu tak lain adalah rumus-rumus Tuhan yang maha dahsyat maknanya,
dan hanya Tuhan yang tahu persis maknanya, ternyata merupakan pendapat yang
dicenderungi mayoritas ulama tafsir. Maria girang sekali mendengarnya.
“Wah
pendapat yang terlintas begitu saja
dalam benak kok bisa sama dengan pendapat mayoritas ulama
tafsir ya?” komentarnya sambil tersenyum bangga.
Aku
ikut tersenyum.
Di dunia ini memang banyak sekali rahasia
Tuhan yang tidak bisa dimengerti oleh manusia lemah seperti diriku. Termasuk
kenapa ada gadis seperti Maria. Dan aku pun tidak merasa perlu untuk bertanya padanya kenapa tidak mengikuti
ajaran Al-Qur’an. Pertanyaan itu kurasa
sangat tidak tepat ditujukan pada gadis cerdas seperti Maria. Dia pasti punya alasan
atas pilihannya. Inilah yang membuatku menganggap Maria adalah gadis aneh dan
misterius. Di dunia ini banyak sekali hal-hal misterius. Masalah hidayah dan
iman adalah masalah
misterius.
Sebab hanya Allah saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut diberi
hidayah. Abu Thalib adalah paman nabi
yang mati-matian membela dakwah nabi. Cinta nabi pada beliau sama dengan cinta nabi pada ayah
kandungnya
sendiri. Tapi masalah hidayah hanya Allah yang berhak menentukan. Nabi tidak
bisa berbuat apa-apa atas nasib sang paman yang amat dicintainya itu. Juga
hidayah untuk Maria. Hanya Allah yang berhak memberikannya. Mungkin, sejak azan
berkumandang Maria telah membuka daun jendela kayunya. Dari balik kaca ia
melihat ke bawah, menunggu aku keluar. Begitu aku tampak keluar menuju halaman
apartemen, ia membuka jendela kacanya, dan memanggil dengan suara setengah
berbisik. Ia tahu persis bahwa aku dua kali tiap
dalam
satu minggu keluar untuk talaqqi Al-Qur’an.
Tiap hari Ahad dan Rabu. Berangkat setelah azan zhuhur berkumandang dan pulang
habis Ashar. Dan ini hari Rabu. Seringkali ia titip sesuatu padaku. Biasanya
tidak terlalu merepotkan. Seperti titip membelikan disket, memfotocopykan
sesuatu, membelikan tinta print, dan sejenisnya yang mudah kutunaikan. Banyak
toko alat tulis, tempat foto copy dan toko perlengkapan komputer di Hadayek Helwan.
Jika tidak ada di sana, biasanya di Shubra El-Khaima ada. Suhu udara
benar-benar panas. Wajar saja Maria malas keluar. Toko alat tulis yang juga
menjual disket hanya berjarak lima puluh meter dari apartemen. Namun ia lebih
memilih titip dan menunggu sampai aku pulang nanti. Ini memang puncak musim
panas. Laporan cuaca meramalkan akan berlangsung sampai minggu depan, rata-rata
39 sampai 41 derajat celcius. Ini baru di Cairo. Di Mesir bagian selatan dan
Sudan entah berapa suhunya. Tentu lebih menggila.
Ubun-ubunku
terasa mendidih.
Panggilan
iqamat
terdengar
bersahut-sahutan. Panggilan mulia itu sangat menentramkan hati. Pintu-pintu
meraih kebahagiaan dan kesejahteraan masih terbuka lebar-lebar. Kupercepat
langkah. Tiga puluh meter di depan adalah Masjid Al-Fath Al-Islami. Masjid
kesayangan. Masjid penuh kenangan tak terlupakan.
Masjid
tempat aku mencurahkan suka dan deritaku selama belajar di sini. Tempat aku
menitipkan rahasia kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku berpisah
dengan ayah ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pemberi rizki saat berada
dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman menumpuk dan
belum terbayarkan. Saat uang honor terjemahan terlambat datang.
Tempat
aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan jiwa dalam
perjuangan panjang.
Begitu
masuk masjid...
Wusss!
Hembusan
udara sejuk yang dipancarkan lima AC
dalam masjid menyambut ramah.
Alhamdulillah. Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam masjid. Puluhan
orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan topi dan tas
cangklongku di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan shaf kedua.Kedamaian
menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir. Udara sejuk
yang berhembus terasa mengelus-elus leher dan mukaku. Juga mengusap keringat
yang tadi mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan
Yang Mahapenyayang. Dia terasa begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih
dekat dari jantung yang berdetak.
Bersambunng
(Sumber
: Novel Islam Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar