Kamis, 29 Mei 2014

Sastra Islam Novel Islam Negeri 5 Menara (Edisi 29 Mei 2014)


Pesan dari  Masa Silam
Washington DC, Desember 2003, jam 16.00

Iseng  saja  aku mendekat  ke  jendela  kaca  dan  menyentuh permukaannya  dengan  ujung telunjuk  kananku.  Hawa  dingin segera menjalari wajah dan  lengan kananku. Dari balik kerai tipis  di  lantai  empat  ini,  salju  tampak  turun  menggumpal-gumpal  sepert i  kapas  yang  dituang  dari  langit.  Ketukan-ketukan halus  terdengar set iap gumpal salju menyentuh  kaca di  depanku.  Matahari  sore  menggantung  condong  ke  barat berbentuk piring put ih susu.

Tidak  jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat  yang  anggun  putih  gading,  bergaya  klasik  dengan tonggak-tonggak  besar.  Kubah  raksasanya  yang  berundak-undak  semakin  memut ih  ditaburi  salju,  bagai  mengenakan kopiah haji.  Di depan gedung  ini, hamparan pohon american elm  yang  biasanya  rimbun  kini  t inggal  dahan-dahan  tanpa daun yang dibalut  serbuk es. Sudah 3  jam salju  turun. Tanah bagai dilingkupi permadani put ih.  Jalan  raya yang  lebar-lebar mulai  dipadati mobil  karyawan  yang beringsut-ingsut  pulang. Berbaris  sepert i  semut.  Lampu  rem  yang  hidup-mat i-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine  polisi—atau ambulans—sekali-sekali menggertak diselingi bunyi klakson.

Udara  hangat  yang  berbau  agak  hangus  dan  kering menderu-deru  keluar  dari  alat  pemanas  di  ujung  ruangan. Mesin  ini menggeram-geram karena bekerja maksimal. Walau
begitu,  badan  setelan  melayuku  tetap  menggigil  melawan suhu  yang  anjlok  sejak  beberapa  jam  lalu.  Televisi  di  ujung ruang  kantor menayangkan Weather  Channel  yang mencatat suhu di luar minus 2 derajat  celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak di Pasar Ateh, Bukittinggi.

Aku  suka  dan  benci  dengan  musim  dingin.  Benci  karena harus membebat diri dengan baju tebal yang berat . Yang lebih menyebalkan,  kulit  t ropisku berubah  kering dan gatal di sana-sini.  Tapi  aku  selalu  terpesona  melihat   bangunan,  pohon, taman  dan  kota  diselimut i  salju  put ih  berkilat-kilat.  Rasanya tenteram,  ajaib  dan  aneh.  Mungkin  karena  sangat   berbeda dengan  alam kampungku di Danau Maninjau yang  serba biru
dan  hijau.  Setelah  dipikir-pikir,  aku  siap  gatal  daripada melewatkan pesona winter t ime seperti hari ini.

Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh  dengan  pejalan  kaki  dan  lalu  lintas  mobil.  Diapit   dua tempat  tujuan wisata terkenal di  ibukota Amerika Serikat, The Capitol  and  The  Mall,  tempat   berpusatnya  aneka  museum Smithsonian  yang  t idak  bakal  habis  dijalani  sebulan.  Posisi kantorku  hanya  sepelemparan  batu  dari  di  The  Capitol, beberapa  belas menit  naik mobil  ke  kantor  George  Bush  di Gedung  Put ih, kantor  Colin  Powell  di  Department   of  State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan.

Walau  dingin  mencucuk  tulang,  hari  ini  aku  lebih bersemangat   dari  biasa.  Ini  hari  terakhirku  masuk  kantor sebelum terbang  ke Eropa, untuk tugas dan  sekaligus urusan
pribadi.  Tugas  liputan  ke  London  untuk wawancara  dengan Tony  Blair,  perdana  menteri  Inggris,  dan  misi  pribadiku menghadiri  undangan  The  World  Inter-Faith  Forum.  Bukan
sebagai  peliput ,  tapi  sebagai  salah  satu  panelis.  Sebagai wartawan  asal  Indonesia  yang  berkantor  di  AS,  kenyang meliput  isu muslim Amerika, termasuk serangan 11 September
2001.

Kamera, digital recorder, dan t iket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicie-ku.  Jaket hitam selutut  aku kenakan dan syal cashmer cokelat tua, aku bebatkan di leher.Oke,  semua  beres.  Tanganku  segera  bergerak melipat   layar  Apple PowerBook-ku yang berwarna perak.

Ping… bunyi halus dari messenger menghent ikan tanganku. Layar berbahan  t itanium kembali aku kuakkan.  Sebuah pesan pendek muncul  berkedip-kedip  di  ujung  kanan monitor.  Dari seorang  bernama  “Batutah”.  Tapi  aku  t idak  kenal  seorang
“Batutah” pun.
“maaf,  ini alif dari pm?”  Jariku cepat  menekan tuts.  “betul,
ini siapa, ya?”
Diam sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi. “alif anggota
pasukan  Sahibul  Menara?”  Jantungku  mulai  berdegup  lebih
cepat. Jariku menari ligat di keyboard.
“benar,  ini siapa  sih!!” balasku mulai  t idak  sabar.  “menara
keempat, ingat  gak?”
Sekali  lagi  aku  eja  lambat-lambat…  me-na-ra  ke-em-pat….Tidak  salah  baca.  Jantungku  seperti  ditabuh  cepat . Perutku terasa dingin. Sudah lama sekali. Aku bergegas menghentak-hentakkan jari:
“masya Allah, ini ente, atang bandung? sutradara Batutah?”
“alhamdulillah,  akhirnya  ketemu  juga  saudara
seperjuanganku….
“atang, di mana ente sekarang?” 
“kairo.”
Belum  sempat  aku  mengetik  lagi,  bunyi  ping  terdengar berkali-kali. Pesan demi pesan masuk bertubi-tubi.
“ana lihat  nama ente jadi panelis di london minggu depan.”
“ana juga datang mewakili al azhar untuk ngomongin peran muslim melayu di negara arah”
“kita bisa reuni euy. raja kan juga di london.”
“kita suruh dia  jadi guide ke  trafalgar  square  seperti yang
ada di buku reading di kelas t iga dulu.”
Aku  tersenyum.  Pikiranku  langsung  terbang  jauh  ke masa lalu. Masa yang sangat kuat  terpatri dalam hatiku.

Bersambung

(Sumber : Novel Islam Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar