Pesan dari Masa Silam
Washington
DC, Desember 2003, jam 16.00
Iseng saja
aku mendekat ke jendela
kaca dan menyentuh permukaannya dengan
ujung telunjuk kananku. Hawa
dingin segera menjalari wajah dan
lengan kananku. Dari balik kerai tipis
di lantai empat
ini, salju tampak
turun menggumpal-gumpal sepert i
kapas yang dituang
dari langit. Ketukan-ketukan halus terdengar set iap gumpal salju menyentuh kaca di
depanku. Matahari sore
menggantung condong ke
barat berbentuk piring put ih susu.
Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen
Amerika Serikat yang anggun
putih gading, bergaya
klasik dengan
tonggak-tonggak besar. Kubah
raksasanya yang berundak-undak semakin
memut ih ditaburi salju,
bagai mengenakan kopiah
haji. Di depan gedung ini, hamparan pohon american elm yang
biasanya rimbun kini t
inggal dahan-dahan tanpa daun yang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju
turun. Tanah bagai dilingkupi permadani put ih. Jalan
raya yang lebar-lebar mulai dipadati mobil karyawan
yang beringsut-ingsut pulang.
Berbaris sepert i semut.
Lampu rem yang
hidup-mat i-hidup-mati memantul merah di salju. Sirine polisi—atau ambulans—sekali-sekali menggertak
diselingi bunyi klakson.
Udara hangat
yang berbau agak
hangus dan kering menderu-deru keluar
dari alat pemanas
di ujung ruangan. Mesin ini menggeram-geram karena bekerja maksimal.
Walau
begitu, badan
setelan melayuku tetap
menggigil melawan suhu yang
anjlok sejak beberapa
jam lalu. Televisi
di ujung ruang kantor menayangkan Weather Channel
yang mencatat suhu di luar minus 2 derajat celcius. Lebih dingin dari secawan es tebak
di Pasar Ateh, Bukittinggi.
Aku suka
dan benci dengan
musim dingin. Benci
karena harus membebat diri dengan baju tebal yang berat . Yang lebih menyebalkan, kulit
t ropisku berubah kering dan
gatal di sana-sini. Tapi aku
selalu terpesona melihat
bangunan, pohon, taman dan
kota diselimut i salju
put ih berkilat-kilat. Rasanya tenteram, ajaib
dan aneh. Mungkin
karena sangat berbeda dengan alam kampungku di Danau Maninjau yang serba biru
dan hijau.
Setelah dipikir-pikir, aku
siap gatal daripada melewatkan pesona winter t ime
seperti hari ini.
Kantorku
berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan
pejalan kaki dan
lalu lintas mobil.
Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibukota Amerika Serikat, The Capitol and
The Mall, tempat
berpusatnya aneka museum Smithsonian yang t
idak bakal habis
dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya
sepelemparan batu dari
di The Capitol, beberapa belas menit
naik mobil ke kantor
George Bush di Gedung
Put ih, kantor Colin Powell
di Department of
State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan.
Walau dingin
mencucuk tulang, hari
ini aku lebih bersemangat dari
biasa. Ini hari
terakhirku masuk kantor sebelum terbang ke Eropa, untuk tugas dan sekaligus urusan
pribadi. Tugas
liputan ke London
untuk wawancara dengan Tony Blair,
perdana menteri Inggris,
dan misi pribadiku menghadiri undangan
The World Inter-Faith
Forum. Bukan
sebagai peliput ,
tapi sebagai salah
satu panelis. Sebagai wartawan asal
Indonesia yang berkantor
di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika, termasuk serangan 11
September
2001.
Kamera,
digital recorder, dan t iket aku benamkan ke ransel National Geographic hijau
pupus. Semua lengkap. Aku jangkau gantungan baju di dinding cubicie-ku. Jaket hitam selutut aku kenakan dan syal cashmer cokelat tua, aku
bebatkan di leher.Oke, semua beres.
Tanganku segera bergerak melipat layar
Apple PowerBook-ku yang berwarna perak.
Ping…
bunyi halus dari messenger menghent ikan tanganku. Layar berbahan t itanium kembali aku kuakkan. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di
ujung kanan monitor. Dari seorang
bernama “Batutah”. Tapi
aku t idak kenal
seorang
“Batutah”
pun.
“maaf, ini alif dari pm?” Jariku cepat
menekan tuts. “betul,
ini
siapa, ya?”
Diam
sejenak. Sebuah pesan baru muncul lagi. “alif anggota
pasukan Sahibul
Menara?” Jantungku mulai
berdegup lebih
cepat.
Jariku menari ligat di keyboard.
“benar, ini siapa
sih!!” balasku mulai t idak sabar.
“menara
keempat,
ingat gak?”
Sekali lagi
aku eja lambat-lambat… me-na-ra
ke-em-pat….Tidak salah baca.
Jantungku seperti ditabuh
cepat . Perutku terasa dingin. Sudah lama sekali. Aku bergegas
menghentak-hentakkan jari:
“masya
Allah, ini ente, atang bandung? sutradara Batutah?”
“alhamdulillah, akhirnya
ketemu juga saudara
seperjuanganku….
“atang,
di mana ente sekarang?”
“kairo.”
Belum sempat
aku mengetik lagi,
bunyi ping terdengar berkali-kali. Pesan demi pesan
masuk bertubi-tubi.
“ana
lihat nama ente jadi panelis di london
minggu depan.”
“ana
juga datang mewakili al azhar untuk ngomongin peran muslim melayu di negara
arah”
“kita
bisa reuni euy. raja kan juga di london.”
“kita
suruh dia jadi guide ke trafalgar
square seperti yang
ada
di buku reading di kelas t iga dulu.”
Aku tersenyum.
Pikiranku langsung terbang
jauh ke masa lalu. Masa yang
sangat kuat terpatri dalam hatiku.
Bersambung
(Sumber
: Novel Islam Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar