Pesona Malu Wanita Mulia
Oleh: Al-Ustadz Marwan
Malu adalah bagian dari keimanan.
Tidaklah malu tersemat pada satu pribadi melainkan menjadi kebaikan baginya.
Malu akan menginspirasi seseorang untuk berhias dengan berbagai perilaku mulia.
Rasulullah n menuturkan, sebagaimana disebutkan secara otentik dalam hadits
riwayat Muslim,
“Keimanan itu memiliki tujuh puluh lebih
cabang. Cabang tertinggi adalah ucapan La ilaha illallah, sedangkan cabang
terendah adalah menghilangkan gangguan dari jalan. Sifat malu adalah salah satu
cabang keimanan.”
Malu adalah salah satu cabang
keimanan. Cukuplah hal ini menunjukkan kemuliaan sifat malu. Orang yang
memiliki sifat malu akan tercegah dari hal-hal yang tidak layak diperbuat.
Tidak adanya rasa malu menunjukkan lemahnya keimanan seseorang. Sebaliknya,
memiliki rasa malu menunjukkan sempurnanya keimanan seseorang.
Malu adalah salah satu akhlak para
malaikat, sebagaimana termaktub dalam sabda Rasul n tentang Utsman bin ‘Affan
a,
“Tidakkah aku malu kepada
seseorang yang malaikat merasa malu kepadanya?”
Al-Imam an-Nawawi t menukilkan
perkataan para ulama tentang hakikat malu, “(Malu) adalah perilaku yang
memberikan motivasi untuk meninggalkan kejelekan dan mencegah tindakan
mengurangi hak orang lain.”
Malu adalah Akhlak Warisan Para Nabi
Rasul kita, Muhammad n, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir al-Anshari a, bersabda,
“Sesungguhnya, di antara ucapan
nabi-nabi terdahulu yang didapati oleh manusia adalah, ‘Jika kamu tidak
memiliki rasa malu, lakukan apa saja yang kamu suka’.”
Hadits ini menunjukkan bahwa seruan
untuk memiliki sifat malu saling diwariskan oleh orang-orang pada masa lalu;
diambil dari para nabi terdahulu, lalu mengalir secara estafet dari generasi ke
generasi, dan sampailah pada umat Rasulullah n. Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa salah satu warisan dakwah para nabi terdahulu adalah seruan
untuk memiliki sifat malu. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab
al-Hambali t dalam
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.
Ada kisah penuh faedah tentang Nabi
Musa q ketika berada di negeri Madyan. Disebutkan dalam firman Allah :
“Tatkala sampai di sumber
air negeri Madyan, ia (Musa) menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang
memberi minum (ternak). Ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang
wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu
(berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum
(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka),
sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’
Musa pun memberi minum ternak
itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu
berdoa, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku.’
Kemudian, datanglah kepada Musa
salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan malu-malu. Ia berkata,
‘Sesungguhnya bapakku memanggilmu agar ia memberikan balasan terhadap
(kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’ Tatkala Musa mendatangi bapaknya dan
menceritakan kepadanya (mengenai dirinya), bapaknya berkata, ‘Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu’.” (al-Qashash:
23—25)
Kalimat “…salah seorang dari
kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu” menunjukkan akhlak baik wanita
tersebut. Sebab, malu adalah salah satu akhlak mulia, terkhusus pada diri
seorang wanita. Menurut ‘Umar a, sebagaimana riwayat Ibnu Abi Hatim, dengan
sanad yang shahih: “Wanita itu datang memanggil dengan malu-malu, sambil
menutupi wajahnya dengan kainnya. Bukan wanita ‘berani’, yang suka keluar masuk
(menemui laki-laki).” Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa tindakan Nabi Musa q
menolong keduanya memberi minum ternak tidaklah seperti yang dilakukan oleh
buruh upahan atau pelayan yang pada umumnya orang tidak merasa malu kepada
mereka. Akan tetapi, pertolongan yang diberikan oleh Nabi Musa q bersumber dari
kemuliaan jiwanya. Si wanita melihat kebaikan dan kemuliaan akhlak Nabi Musa q,
sehingga tumbuhlah rasa malu pada dirinya kepada beliau q.
Salah satu faedah besar yang
terdapat dalam ayat yang mulia di atas, kedua putri orang saleh dari negeri
Madyan[1] tersebut memiliki sifat pemalu. Sifat ini
tumbuh dan bersemi sebagai hasil bimbingan keluarga yang telah mendidik akhlak
mereka. Mereka telah dididik agar memiliki akhlak malu dan menjaga kehormatan
diri.
Maka akhlak mulia yang seyogianya
senantiasa menghiasi diri seorang wanita adalah sifat malu. Tidak
sepantasnya sifat ini ditanggalkan dari jiwa seorang wanita. Oleh karena itu,
setiap orang tua atau wali seorang wanita bertanggung jawab mendidik
putri-putrinya agar menjaga sifat malu yang menjadi fitrahnya. Sebab, malu
adalah pesona dan perhiasan wanita, apabila tercabut, tercabut pulalah seluruh
kemuliaan si wanita.
Diriwayatkan oleh al-Imam
al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar c, beliau menuturkan,
“Sesungguhnya, sifat malu dan
keimanan itu selalu bergabung secara keseluruhan. Jika hilang salah satu dari
keduanya, hilanglah semuanya.”
Artinya, hilang keagungan dan
kesempurnaannya.
Malu adalah Akhlak Rasulullah n dan Para Sahabat
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri a, ia mengatakan, “Rasulullah n sangat pemalu,
melebihi gadis-gadis pingitan di tempat pingitan mereka. Jika Rasulullah n
tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya dari raut wajah beliau.”
Gadis pingitan adalah gadis yang
ditempatkan di ruangan khusus di dalam rumah. Gadis tersebut merasa sangat malu
ketika dinikahi oleh seorang pria dan berduaan untuk pertama kalinya dengan
suami yang baru saja dikenalnya. Sifat malu Rasulullah n lebih besar daripada
sifat malu gadis pingitan tersebut.
An-Nawawi t mengatakan, “Nabi n
tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak beliau sukai. Hal ini disebabkan
oleh sifat malu yang beliau miliki. Ketika tidak menyukai sesuatu, raut wajah
beliau berubah, sehingga ketidaksukaan beliau tersebut bisa diketahui.”
Diceritakan oleh ‘Aisyah c bahwa
suatu ketika, Rasulullah n pernah berbaring di rumahnya dalam keadaan
tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin untuk
menemui Rasulullah n. Rasulullah n pun mengizinkan Abu Bakr untuk masuk,
sedangkan beliau tetap seperti itu. Lalu Abu Bakr berbincang-bincang dengan
beliau.
Kemudian, ‘Umar a juga meminta
izin. Rasulullah n mengizinkan ‘Umar untuk masuk, dan beliau masih seperti itu.
‘Umar pun berbincang-bincang dengan beliau.
Lalu datanglah ‘Utsman a meminta
izin untuk menemui beliau. Rasulullah n langsung duduk dan segera membenahi
pakaiannya. ‘Utsman a pun masuk dan berbincang-bincang dengan beliau.
Tatkala ‘Utsman a telah keluar,
‘Aisyah berkata, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap
menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau
juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Namun ketika
‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu.”
Rasulullah n menjawab, “Tidakkah
aku malu kepada seseorang yang para malaikat malu kepadanya?” (HR. Muslim
no. 2401)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah
n berkata, “Sesungguhnya ‘Utsman sangat pemalu. Aku khawatir, jika aku
mengizinkannya (untuk menemuiku) sedangkan aku dalam keadaan seperti itu, ia
tidak bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402)
Sifat Malu Tidaklah Mendatangkan Selain Kebaikan
Perilaku santun, berwibawa, dan
menjaga kehormatan diri tumbuh dari sifat malu yang terpuji. Rasulullah n
bersabda, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik n,
“Tidaklah sifat malu itu tersemat pada sesuatu
melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kekejian itu terdapat pada sesuatu
melainkan akan menjelekkannya.”
Di antara keutamaan sifat malu
adalah menjadi penghias setiap urusan. Maka dari itu, berhiaslah selalu
dengan sifat malu yang merupakan salah satu cabang keimanan, akhlak warisan
para nabi, akhlak para malaikat Allah, dan akhlak Rasulullah serta para sahabat
beliau.
Terakhir, sifat malu tidaklah
mendatangkan selain kebaikan. Sifat malu seluruhnya adalah kebaikan. Sifat malu
sama sekali tidak mendatangkan kemudaratan. Mengetahui hakikat malu adalah
sebuah keharusan. Malu adalah bagian dari agama ini. Ia akan mencegah seseorang
dari sikap lancang terhadap agama ini dan dari seluruh perbuatan keji serta
akhlak tercela.
Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar